Jari-jarinya masih lincah memasukan nilon
di antara dua bilah bambu seukuran lidi, padahal matanya sudah tidak
seberapa terang. Penyakit mata yang dideritanya sudah sejak lama
membuatnya lebih banyak berdiam diri di rumah, meluputkan diri dari
tamparan matahari. Jari-jarinya masih bermain. Sesekali ia menunduk,
megamatinya dalam jarak dekat, mencoba memastikan kerapiannya. Selalu
seperti itu, dalam rumah yang berukuran kurang lebih lima kali enam
meter itu, ia menyelesaikan bubu-bubu ikan.
Beberapa bubu ikan yang sudah dirampungkannya di gantung di atas plafon, yang lain dibiarkan menumpuk di sudut ruangan.
Di antara sekian bubu ikan yang
digantung, tampak sebuah benda bulat dibalut sarung putih terikat pada
sebuah tiang. Bungkusan bulat berwarna putih itu tampak usang berdebu.
Sebaris kata yang tertera ‘She Lagee’
terbaca samar-samar. “Ya, itu dia Rapai Cebrek, terakhir dibawa keluar
Palimbungan pada waktu pementasan teater She Lagee di Jakarta pada tahun
2008’ Syech Usman, demikian ia biasa disapa memulai kisah tentang rapai
Cebrek.
Generasi kelima pewaris tunggal Rapai
Cebrek yang sudah berusia hampir empat abad ini memulai mengisahkan itu
sambil merapikan bubu di tangannya. Di desa Palimbungan Kec. Kawai XVI
kabupaten Aceh Barat, syech kelahiran 1 Juli 1960 ini menetap dan
diamanatkan ayahnya Syech Basah untuk menjaga Rapai Cebrek dan
mewariskan sejarah tarian rapai duablah (dua belas) yang nyaris punah.
Pada mulanya. Kisah Syech Usman. Sebatang
pohon Cebrek tua tumbang melintang membelahkrueng(sungai) Palimbungan.
Haji Ben, yang kebetulan melintas di tepi krueng tidak membiarkan Cebrek
itu hanyut. Beliau memotong selanjutnya membentuknya menjadi kerangka
rapai. Kulit rapai diambilnya dari kulit seekor kambing jantan ‘bule
seribe’ (berbulu seribu). Maksudnya kambing yang memiliki bulu bercorak
banyak atau banyak warna. “
Sudah sejak Haji Ben membuat rapai dari
pohon Cebrek dan dipentaskan dalam setiap tarian rapai duablah, grup
tari Haji Ben tidak pernah kalah, selalu menang, sehingga membuatnya
sangat terkenal di Aceh Barat’ kata Syech Usman. “Sudah sejak itu
diyakini Rapai Cebrek memiliki kekuatan tersendiri” lanjutnya.
Sejarah Warisan Rapai Cebrek, Sebuah
Sejarah KeluargaGenerasi Nama Posisi Posisi Dalam Keluarga Usia
(+/-)Keturunan 1 Haji Ben Penemu Anak Sulung 80-an tahunAceh Utara 2
Sulaiman Pase Pewaris Anak Sulung Haji Ben 90-an tahun Lahir di
Palimbungan 3 Khalifah Ben Pewaris Anak Sulung Sulaiman Pase 70-an tahun
Lahir di Palimbungan 4 Syech Basah Pewaris Anak Sulung Khalifah Ben
80-an tahun Lahir di Palimbungan 5 Syech Usman Pewaris Anak Sulung Syech
Basah masih hidup Lahir di Palimbungan 6 anak perempuan masih
hidup/lahir dan besar di Palimbungan, namun, ketika rapai Cebrek sampai
ke generasi Syech Usman, Syech Usman tidak pernah menggunakannya lagi
untuk ditabuh. “Kecuali kalau ada hajatan di gampoeng, maka saya akan
menggunakannya. Dan itu pun ditabuh secara perlahan sebanyak tujuh kali
di telinga orang yang melaksanakan hajatan seperti penikahan atau
sunatan’.
Tiba-tiba Syech Usman melepaskan anyaman
bubunya. Ia menghela napas panjang. “Tapi, saya tidak punya anak
laki-laki. Tiga anak saya adalah perempuan. Apakah ini artinya sudah
habis masanya?” tanya Syech Usman dengan mata berkaca. Rapai Duablah
sepertinya tidak lagi diminati generasi muda zaman sekarang. Dua belas
syair yang diturunkan oleh Abdul Khadir Jailani yang menjadi iringan
tabuhan rapai duablah sepertinya perlahan-lahan kehilangan gemanya.
“Banyak anak-anak muda sekarang yang
berlatih rapai, tetapi semangat dan roh yang ada di dalam rapai belum
seluruhnya diserap” keluh Syech Usman. Namun demikian tentang Rapai
Cebrek Syech Usman mempunyai keyakinan “Tapi saya yakin, tentang rapai
Cebrek, walaupun sampai ke tangan anak-anak saya yang perempuan, saya
yakin mereka bisa melanjutkan dan meneruskan kekuatan Rapai Cebrek ini.
Mereka bisa menjaga kedewasaan gampoeng Palimbungan ini”
Bubu yang tergeletak di sisi kanannya
diambilnya kembali. Syech Usman melanjutkan pekerjaannya. Saya kembali
dengan dada sesak, membayangkan tentang ‘keaksakralan’ budaya yang
nyaris hilang. Pertanyaannya adalah mengapa generasi muda Aceh tidak
mewarisi tradisi serupa ini?
0 komentar:
Posting Komentar